Selasa, 31 Mei 2011

Menjaga Tradisi


Komunitas pojok budaya merupakan sebuah komunitas yang dibangun oleh anak-anak muda dusun pandes sompokan desa Panggungharjo kecamatan Sewon kabupaten Bantul, Yogyakarta sejak tahun 2007.
Dusun Pandes Sompokan merupakan dusun yang secara historis dikenal sebagai daerah penghasil dolanan anak-anak berbahan bambu dan kertas, dari salah satu sumber sejarah lokal, dikatakan bahwa tradisi membuat dolanan anak-anak ini dilakukan sejak pemerintahan HB VIII atau sekitar pertengahan abad XVIII. Hampir semua masyarakat pandes menggantungkan kehidupan ekonominya dari pembuatan dolanan anak-anak ini, sehingga pada waktu itu pelestarian dolanan anak-anak dilakukan secara kultural dalam lingkup keluarga karena biasanya seluruh anggota keluarga terlibat dalam proses pembuatan dolanan tersebut
Seperti juga dengan daerah lain, berbagai macam permainan bocah tempo dulu seperti gatheng, gobag sodor, kasti, jamuran, benthik, balapan jambe, boy boyan, sekar puyang adalah merupakan permainan favorit bagi anak-anak dusun pandes, terlebih lagi pada saat purnama datang, bisa dipastikan anak-anak dan ibu-ibu didusun pandes akan keluar rumah sejak lingsir sampai menjelang tengah malam untuk berinteraksi sambil memainkan berbagai permainan tersebut.
Namun segalanya berubah semenjak dolanan plastik dari cina dan jepang mulai hadir di awal-awal tahun 80an, perlahan tapi pasti, dolanan anak-anak dari pandes mulai ditinggalkan yang secara tidak langsung memaksa para pengrajin dolanan di dusun pandes untuk alih profesi. Menjadi buruh ataupun merantau menjadi pilihan paling realitis agar kebutuhan keluarga dapat tercukupi. Aktifitas pembuatan dolanan anak meredup sehingga di akhir tahun 90an hanya tinggal 8 orang yang masih setia menekuni profesi ini, dan kesemuanya adalah perempuan lanjut usia.
Tawa yang membuncah yang bersumber dari keceriaan anak-anak didusun pandes sewaktu melakukan berbagai macam permainan tradisi dikala purnama semakin lirih terdengar sejak program listrik masuk desa mulai diperkenalkan didusun pandes yang kemudian digantikan wajah-wajah autis anak-anak dan orang tua yang tertegun didepan televisi.
Tidak terdengar lagi kata-kata sekong, kungkung, blepsik, jagomu kon kluruk kang, nyanyian jamuran yo ge gethok, dingklik oglak aglik, sekar puyang ponja – panji....., kita kelangan alon-alon yang kemudian kesemuanya itu tergantikan dengan kata-kata ragnarok, doom,redneck rampage, quake, mario, playstation serta berbagai istilah lain yang terasa asing dan kering.
Tak terbayang, bagaimana imajinasi anak-anak kita terpenuhi dengan adegan-adegan yang mengandung unsur kekerasan, individualis serta agresifitas untuk mengalahkan dan mematikan lawan yang kesemuanya tersebut menjadikan anak anak kita menjadi teralienasi dan anti sosial.
Situasi lingkungan sosial tersebut mendasari beberapa anggota masyarakat untuk mendorong kembali tumbuhnya berbagai macam seni tradisi dan permainan anak agar anak-anak tidak tercerabut dari akar sosial dimana dia dilahirkan. Kelompok masyarakat tersebut mengorganisasi diri dalam wadah Komunitas Pojok Budaya yang pendiriannya ditujukan untuk turut memperjuangkan terciptanya masyarakat yang religius, demokratis, berdaya secara ekonomi serta yang berkesadaran ekologis dengan melakukan serangkaian kegiatan pendidikan berbasis masyarakat, pendampingan ekonomi serta pelestarian tradisi dan budaya lokal.
Dalam melakukan kegiatannya, komunitas pojok budaya menjadikan pelestarian budaya dan seni tradisi sebagai isu utama serta menjadikan anak-anak sebagai titik masuknya. Kegiatan yang pertama dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan pendidikan berbasis masyarakat dimana masyarakat dijadikan subyek sekaligus obyek dari kegiatan pendidikan tersebut. Berbagai hal, terutama nilai-nilai luhur yang terkandung dalam aneka rupa permainan maupun dolanan anak-anak yang ada digali dan dimaknai kembali. Anak-anak dikenalkan kembali dengan berbagai jenis permainan yang pernah tumbuh, para pengrajin dolanan anak yang masih setia dijadikan guru dalam pendidikan berbasis komunitas tersebut. Ibu-ibu yang rindu akan suara gejogan dari lesung yang dipukul, difasilitasi untuk memainkan kembali gejogannya sekaligus mengajari anak-anak berbagai nyanyian tradisi.
Terkesan apa yang dilakukan adalah membangun romantisme masa lalu, namun tidaklah demikian karena anak-anak juga dikenalkan dengan berbagai hal yang berbau ‘modern’ seperti pembuatan film serta pelatihan komputer. Hal ini dilakukan untuk menjaga relevansinya dengan perkembangan dunia modern.
Berkaitan dengan cita-cita untuk berdaya secara ekonomi sehingga memungkinkan kegiatan yang digagas komunitas pojok budaya anggota masyarakat ini berlangsung secara ‘merdeka’ maka dibangun pula upaya untuk membangun basis basis ekonomi secara mandiri baik dalam lingkup keluarga maupun komunitas semisal didirikannya kelompok kerja ekonomi perempuan (KeKEP) yang diperuntukan bagi ibu-ibu anggota komunitas.
Penggagasan ecoturism minat khusus disamping diorientasikan untuk pendidikan budaya bagi masyarakat diluar komunitas juga ditujukan untuk meningkatkan nilai ekonomi dari dolanan anak-anak yang diproduksi oleh para pengrajin. Oleh karena dalam konsep dusun wisata tersebut yang di’jual’ bukan semata-mata produk namun juga experience serta knowledge. Ecoturism juga ditujukan untuk meningkatkan citra seni tradisi dan dolanan yang ada di pandes sompokan sehingga merangsang generasi muda untuk turut serta dalam proses pelestarian budaya dan seni tradisi lokal yang ada disekitarnya. Beragam kalangan telah berkunjung kepandes sompokan baik sekitaran jogja maupun dari luar jogja bahkan beberapa dari luar negeri.
Pilihan isu, strategi gerakan serta metode pengemasan yang tepat pada akhirnya menarik perhatian media baik lokal, nasional maupun internasional untuk datang dan meliput kegiatan-kegiatan yang digagas oleh Komunitas Pojok Budaya, tercatat National Geograpic, Reuters, The Jakarta Post, dan hampir semua stasiun televisi nasional pernah datang dan meliput kegiatan komunitas pojok budaya bahkan aktifitas anak-anak tersebut digunakan sebagai bagian dari iklan layanan masyarakat yang didanai WHO. Kesemunya itu pada akhirnya mampu meningkatkan kebanggaan dan meneguhkan identitas budaya bangsa.
Seiring dengan meningkatnya citra diri tersebut, komunitas pojok budaya mulai memperluas kelompok sasaran yaitu generasi muda dengan mendorong mereka terlibat secara langsung dalam proses-proses pelestarian dolanan bocah dengan mendirikan bengkel kerja pembuatan dolanan anak anak yang dengan kualitas yang lebih bagus untuk memperluas pasar sasaran.
Tak terbayangkan, sebuah ketulusan bersama telah mampu menggugah kesadaran masyarakat untuk kembali menggali nilai yang terkandung dalam warisan leluhur dan menjadikannya sebagai sebuah kebanggaan bersama, kebanggaan sebagai sebuah bangsa bernama Indonesia walaupun tanpa peran serta dan campur tangan pemerintah






melatar ruang dan rentang waktu saat malam yang dingin dikala purnama
riuh anak menyanyikan dolanan bocah dan gemuruh lesung bertalu
mengikat manusia dan alam membentuk hubungan kreatif
sebuah faktor determinan yang penting bagi perubahan kebudayaan
barangkali,
 ini semua diawali dari proses kreatif rumpun rumpun bambu yang ada didusun pandes
‘gawe othok othok le’ ujar simbah yang telah mengabaikan semua lelah
selanjutnya siapa yang hendak mengakhiri ?

*diambil dari opening text  film ‘diary bagong’ karya oki dan ign kendal
dengan beberapa penyesuaian